Musik underground bandung
Menguak
kembali sejarah musik andergroun di bandung Pada dekade 1990-an, musik
underground menyerbu Indonesia khususnya di Bandung. Pada saat itu,
Bandung menjadi barometer musik aliran-aliran cadas seperti metal,
grindcore, punk dan hardcore. Dimulai pada 1989-1993, sejumlah musisi
underground di Bandung mendirikan sebuah komunitas Bandung Death
Brutality Area (Bedebah) yang menjadi cikal bakal komunitas bawahtanah
di Indonesia. Mereka langsung membuat sebuah studio Palapa yang menjadi
tempat berkreativitasnya para musisi cadas Ujungberung-Bandung.
Tampaknya, pada era 1990 tersebut, geliat musik underground semakin
beringas dan merebak hingga berbagai daerah di sekitaran Bandung. Dengan
hadirnya komunitas underground pertama itu, semakin menginspirasi
pecinta musik cadas lainnya untuk mendirikan Bandung Lunatic Underground
(BLU) pada 1993, meskipun hanya bisa bertahan dalam satu tahun. Namun,
pada 1995 inilah perkembangan musik underground di Bandung mulai
menapaki era keemasannya. Dengan bermunculan band-band metal semacam
Forgotten, The Cruels, Sonic Torment, Sacrilegious Mesin Tempur dan
Burger Kill. Meskipun, sebuah band Jasad sudah lama malang melintang
pada era 1992 menjadi salah satu pelopor band metal di Bandung. Pada
tahun tersebutlah, nama Ujungberung Rebels mulai dikenal publik.
Sejumlah kegiatan yang digelar oleh komunitas musisi cadas ini memang
cukup kreatif untuk memajukan musik underground. Dengan membentuk
Extreme Noise Grinding (ENG) dan Homeless Crew, perkembangan musik
underground semakin maju dimulai dari pembuatan zine-zine propaganda
semacam Revograms, Ujungberung Update dan NuNoise. Isinya seputar
perkembangan musik, kultur dan hal-hal lainnya yang menginformasikan
tentang underground. Homeless Crew sendiri lahir sebagai Even Organizer
bentukan musisi multi talenta bernama Kimung serta kedua kawannya Ivan
Scumbag dan Adi Gembel, sebagai pencetus nama Ujungberung Rebels yang
didalamnya terdiri dari penulis, teknisi, enginer, distributor, dll.
Terbentuknya Homeles Crew akhirnya membuat dobrakan pertama dengan
membuat album kompilasi musik underground sebanyak 20 band di bawah
bendera Ujungberung Rebels. “Extreme Noise Grinding inilah cikal bakal
segala dinamika Ujungberung Rebels, hingga hari ini. ENG digagas para
pionir seperti Yayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak
Ujungberung,” kata Kimung, Kamis (9/8). Sukses menggebrak dengan
pembuatan album kompilasi, propaganda selanjutnya yang dilakukan
Ujungberung Rebels adalah membuat acara musik yang menampung sejumlah
band metal lokal untuk dipentaskan dalam skala besar. Sehingga, munculah
Bandung Berisik Demo Tour yang lebih akarab dikenal sebagai Bandung
Berisik I. Pada Bandung Berisik I, sebanyak lima belas band Ujungberung
unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Hingga kini,
Bandung Berisik tetap diusung masyarakat metal Ujungberung selain tiga
pergelaran khas Ujungberung lainnya, Death Fest, Rottrevore Death Fest,
dan Rebel Fest. Tercatat, hingga 2012 pagelaran Bandung Berisik sudah
menginjak kali ke-12 yang merupakan ajang pertunjukan musik metal
terbesar se-Asia. Pertunjukan ini juga disinyalir sebagai cikal bakal
bekerjasamanya pihak Ujungberung Rebels dengan pihak sponsor, setelah
sebelumnya komunitas ini konsen di jalur indie. “Saya bangga dengan
anak-anak Ujungberung Rebels terutama acara tahunan Bandung Berisik yang
sempat mencatat sejarah dan prestasi besar dengan mengumpulkan 25.000
penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun
2004,” katanya. Hingga saat ini, band-band yang tampil di Bandung
Berisik semakin banyak dengan kehadiran band pendatang baru yang tetap
konsisten di jalur indie label. Namun, setiap tahunnya band yang paling
ditunggu-tunggu para penonton masih disematkan kepada Burger Kill.
Kimung, yang juga sempat menjadi personil Burger Kill menjelaskan
komunitas dari band- band lingkup Ujungberung Rebels sudah seharusnya
merapat ke jalur major, seperti halnya yang telah dilakukan Burger Kill
pada 2000 lalu dengan menggaet major Sony Music Entertainment Indonesia
(SMEI). “Sebagai musisi, seharusnya kita bergerak di semua lini, jalur
major, indie dan apa pun itu namanya, yang penting kita berkarya
sekreatif mungkin, jangan cuma berkutat di komunitas saja kalau mau
maju,” katanya. Kimung memberikan contoh, ketika Burger Kill tampil di
salah satu acara yang kerap mengusung musik-musik underground, Radio
Show, dia bisa membuktikan bahwa band underground Bandung pun bisa
berani memasang badan di media mainstream. Apalagi, lanjutnya, Burger
Kill sempat menerima penghargaan AMI Awards sebagai kategori Best Metal
Production. Selain itu, dia menambahkan dengan terbentuknya proyek
terbaru bareng musisi undergorund lainnya dengan membentuk Karinding
Attack, dia mengatakan tidak ada yang salah jika sebuah kelompok musik
yang dari awalnya mengusung semangat independen menjadi mainstream.
Karinding Attack, yang dibentuknya barenga vokalis Jasad, Iman dan
kawan-kawan pun sudah banyak berkolaborasi dengan artis-artis papan atas
nasional. Dengan mengusung kebudayaan lokal, Karinding Attack sudah
mendobrak industri musik di jalur yang lebih luas. “Kalau di komunitas
Ujungberung Rebels sendiri, ada dua nama yang hingga saat ini berani
tampil di industri atau pun major, yaitu Burger Kill dan Karinding
Attack,” katanya. Dia menjelaskan bagaimana Burger Kill sempat
berkolaborasi dengan Fadly dari band Padi atau Karinding Attack yang
berkolaborasi denga Peterpan dan sebuah pertunjukan baru-baru ini bareng
Meriam Belina dan Didi Petet. “Memang kami mengakui ada nada-nada yang
kurang respons ketika kami mengambil jalur major, atau ketika Karinding
Attack berkolaborasi dengan artis-artis dari pihak major. Namun, perlu
dicatat, bukan berarti kami tidak konsisten dengan idealisme yang kami
miliki, kalau sudah tidak menjaga idealisme, buat apa kami bikin Bandung
Berisik setiap tahunnya,” kata kimung. Sementara itu, kelompok
karinding Mapah Layung lebih mempertahankan jalur indie agar rasa dalam
bermusik bisa terus dipertahankan. Seperti diyakini, jalur indie
mengusung kebebasan berekspresi dan jauh dari beragam intervensi seperti
yang dilakukan major label. Aras Rasyid, pentolan Mapah Layung
memaparkan berkesenian khususnya dalam bermusik merupakan panggilan jiwa
dari dalam diri seniman. Bermusik yang baik, lanjutnya adalah bermusik
yang datang dari hati dan bukan tekanan dari orang lain. “Kami sengaja
memilih indie, karena pencapaian musik di jalur ini tidak terbatas. Pada
indie, kami sangat leluasa berkarya, mengeksplore segala bentuk musik,
dan ditantang untuk mempertanggung jawabkan karyanya. Dan yang paling
penting, bersikap sederhana tanpa merasa diri paling besar,” tutupnya.
Dia menjelaskan dari sekian kelompok-kelompok musik karinding khususnya
di Bandung, ada perbedaan mencolok yang diusung Mapah Layung sendiri.
Kolaborasi yang memadukan musik etnik dengan jazz, rock dan blues
menjadi ciri khas yang sangat kuat. Apalagi, citra musik yang dipadukan
Mapah Layung kebanyakan terinspirasi dari masing- masing personil yang
notabene pecinta musik rock dan klasik semacam Pink Floyd, Led Zeppelin,
Iron Maiden, Deep Purple hingga Yngwie malmstein. sumber: komunitas musik underground
Tidak ada komentar:
Posting Komentar